BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah masuknya Islam ke wilayah
Nusantara sudah berlangsung demikian lama, sebagian berpendapat bahwa Islam
masuk pada abad ke-7 M yang datang lansung dari Arab. Pendapat lain
mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13, dan ada juga yang berpendapat
bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke 9 M atau 11 M . Perbedaan pendapat
tersebut dari pendekatan historis semuanya benar, hal tersebut didasar
bukti-bukti sejarah serta peneltian para sejarawan yang menggunakan pendekatan
dan metodenya masing-masing.
Berdasarakan beberapa buku dan
keterangan sumber referensi sejarah, bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara
sekitar abad 13 M . hal tersebut tak lepas dari peran tokoh serta ulama
yang hidup pada saat itu, dan diantara tokoh yang sangat berjasa dalam proses
Islamisasi di Nusantara terutama di tanah Jawa adalah “ Walisongo”. Peran
Walisongo dalam proses Islamisasi di tanah Jawa sangat besar. Tokoh Walisongo
yang begitu dekat dikalangan masyarakat muslim kultural Jawa sangat
mereka hormati. Hal ini karena ajaran-ajaran dan dakwahnya yang unik serta
sosoknya yang menjadi teladan serta ramah terhadap masyarakat Jawa sehingga
dengan mudah Islam menyebar ke seluruh wilayah Nusantara.
1.2 Rumusan Masalah
Sejarah risalah dakwah Walisongo
demikian panjang. Mereka berdakwah dengan perjuangan yang begitu giat, karena
masyarakat Nusantara pada waktu itu sebagian besar beragama Hindu-Budha yang
berada dibawah kekuasaan Majapahit. Walisongo hidup pada masa merosotnya era
kekuasaan Hindu-Budha Majapahit. Jatuhnya Majapahit diberi tanda candra
sengkala[1]
yang berbunnyi “Sirna Ilang Kertaning Bhumi”, Sirna = 0, Hilang = 0,
Kerta = 4, dan Bhumi = 1, Hal ini dapat kita simpulkan bahwa jatuhnya
kerajaan Majapahit terjadi pada tahun saka 1400 yang pada saat itu bersamaan
juga dengan era kebangkitan Walisongo.
Selanjutnya, bagaimanakah Walisongo
dalam menjalankan misi Islamisasi di Tanah Jawa?, melalui apa saja Walisongo
dalam menjalankan dakwahnya ?, serta bagaimanakah hubungan “Walisongo” dengan
Kerajan-Kerajan Islam di tanah Jawa ?, kemudian, peninggalan-peningglan
Walisongo apa saja yang pengaruhnya amat begitu kental di kalangan masyarakat
?. semua permasalahan tersebut akan sedikit diuraikan dalam makalah ini. Dengan
makalah ini, diharapkan menjadi sumber pengetahuan serta pemicu baik bagi
mahasiswa lain maupun setiap pembaca pemerhati sejarah, khususnya Sejarah Islam
di Nusantara.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari penulisan makalah
ini adalah untuk menganalisis risalah dakwah walisongo mulai dari titik awal
penyebaran hingga perkembangannya dalam proses Islamisasi di tanah Jawa dan
sekitarnya, menjelaskan hubungan antara Walisongo dengan kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara, khusunya kerajaan Islam di Jawa dan sekitarnya serta
peninggalan-peninggalan Walisongo yang pengaruhnya sangat melekat dikalangan
masyarakat Jawa. Tujuan khususnya yaitu untuk memenuhi tugas Ujian Tengah
Semester (UTS) Ganjil pada mata kuliah Sejarah Perkembangan Islam Indonesia
(SPPI)
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam
penulisan makalah ini adalah analisis deskriptif serta interpretasi
melalui beberapa buku sumber referensi sejarah. Pada beberapa bagian terdapat
kutipan berupa buku dan jurnal online yang merupakan sumber referensi sejarah,
dan sebagian merupakan hasil dari interpretasi dan diskusi kelompok kami.
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah ini dibuat dengan
sistematika sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
Bab II Definisi, Asal-usul, dan
Profil Walisongo
2.1 Definisi Walisongo
2.2 Asal-usul Walisongo
2.3 Profil Walisongo
2.3.1 Maulana Malik Ibrahim
2.3.2 Sunan Ampel
2.3.3 Sunan Bonang
2.3.4 Sunan Drajad
2.3.5 Sunan Giri
2.3.6 Sunan Kalijaga
2.3.7 Sunan Kudus
2.3.8 Sunan Muria
2.3.9 Sunan Gunung Jati
Bab III Hubungan Walisongo dengan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa serta Peninggalannya
3.1 Hubungan Walisongo dengan
Kerajaan Islam Demak
3.2 Hubungan Walisongo dengan
Kerajaan Pajang
3.3 Hubungan Walisongo dengan
Kerajaan Mataram Islam
3.4 Peninggalan Walisongo
3.4.1 Bidang Kesenian
3.4.2 Bidang Arsitektur Fisik
Bab IV Penutup
4.1 Kesimpulan
BAB II
DEFINISI, ASAL-USUL, DAN PROFIL
WALISONGO
1.1 Definisi Walisongo secara
Harfiah
Walisongo berasal dari dua kata
yaitu “Wali” dan “Songo”. Perkataan “Wali” sendiri berasal dari bahasa Arab
yaitu “Walaa” atau “Waliya” yang mengandung arti “Qaraba” yaitu dekat, yang
berperan melanjutkan misi kenabian (Nasution, 1992; Saksono, 1995)[2].
Hal ini sesuai dengan kiprah dakwah para wali sebagai ulama yang dekat dengan
Allah SWT dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Sedangkan pengertian
kata “Wali” menurut Al-Qur’an dipakai dengan pengertian “kerabat, teman
atau pelindung”, hal ini dapat kita lihat terjemahan Q.S Al-Baqarah : 257 yang
menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan
orang-orang kafir, pelidung-pelindung (auliya) mereka ialah syetan, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah
penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.”.
Sementara kata “Songo” berasal dari
bahasa Jawa yang berarti “Sembilan”. Beberapa versi mengatakan bahwa kata Songo
berasal dari kata “Sana” yang berarti “tempat”, Ada juga yang berpendapat
kata “Songo” berasal dari kata “Tsana” yang berati “Mulia” . Belum ada
penjelasan yang pasti mengenani pengertian kata “Songo” ini, namun berdasarkan
pendapat dan teori-teori umum perkataan “Songo” atau “Sanga” berasal dari
bahasa jawa yang berarti “ Sembilan”, yaitu sembilan Wali yang terkenal sebagai
pejuang agama islam di Tanah Jawa.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat
kita pahami bahwa “Walisongo” adalah sembilan intelektual yang menjadi
tokoh terpenting dalam gerakan pembaharuan di Tanah Jawa . Hal ini dapat kita
lihat dari pengaruh ajaran para wali yang terasa dalam berbagai bentuk
kehidupan masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan,
kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga sistem pemerintahan di Pulau Jawa.
1.2 Asal-usul Walisongo
Ada beberapa teori yang membahas
masuknya Islam ke Pulau Jawa, sebagian berpendapat bahwa agama Islam masuk ke
Pulau Jawa sekitar abad 9 M, sebagian lain menyebutkan pada abad ke-14, dan ada
juga yang berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Pulau Jawa sekitar abad ke-15.
Islam masuk pada abad ke-9 berdasarkan inskrpsi di Leran Gresik yang berupa
batu nisan makam Fatimah binti Maimun, dalam nisan tertulis wafat pada tahun
1082 M. pendapat ini mendapat sanggahan beberapa sejarawan diantaranya Ricklefs
yang meyakini bahwa batu nisan tersebut bukanlah asli dari Pulau Jawa,
melainkan dari luar Pulau Jawa. Pendapat kedua mengatakan bahwa agama Islam
masuk ke Pulau Jawa sejak abad ke-14, hal ini berdasarkan bukti sejarah berupa
batu nisan di Trowulan. Dalam batu nisan tersebut tertera angka tahun 1368 yang
menginidiksikan bahwa pada tahun tersebut sudah ada orang Jawa dikalangan
kerajaan yang telah memeluk agama Islam. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Islam
sudah berada di Pulau Jawa sekitar abad ke-15. Hal ini didasarkan pada makam
Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Sumber lain menyebutkan
bahwa beliau ini berasal dari Persia, sebagian mnyebutkan berasal dari Arab
Mesir, dan ada pula yang menyebutkan berasal dari Cina (Champa). Diantara
beberapa pendapat tersebut, yang terakhir lebih diterima dikalangan masyarakat
luas.
Maulana Malik Ibrahim merupakan
sesepuh Walisongo yang menjadi cikal bakal lahirnya para Walisongo yang lain.
mengenai beliau ini, ada perselisihan pendapat tentang asal keturunan beliau.
Ada yang berpendapat bahwa beliau berasal dari Arab Mesir, hal ini didasarkan
gelar “Al-Malik” yang sesuai dengan nama gelar raja-raja di Mesir saat itu
selain itu bukti yang paling nyata adalah bahwa sebagian besar rakyat Indonesia
menganut Madzhab Syafi’i, salah satu Madzhab yang menjadi mayoritas dikalangan
rakyat Mesir. Teori ini didukung oleh Hamka . Teori kedua mnyebutkan bahwa
Maulana Malik Ibrahim berasal Gujarat (India). Pandangan ini di kemukakan oleh
Snouck Hurgonje. Menurutnya Sumatra dan Jawa mengenal Islam lewat jalur
perdagangan India-Nusantara. Pandangan ini didukung kenyataan bahwa batu nisan
Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat. John F.Cady mendukung teori ini
dalam bukunya yang berjudul “South East Asia, In Historcal Background”.[4]
Teori ketiga mengatakan bahwa Islam masuk ke Pulau Jawa melalui Kamboja, hal
ini didasarkan pandangan bahwa adanya hubungan antara Kerajaan Nusantara dengan
Kerajaan Champa di Kamboja. beberapa babad yang ada menyebutkan bahwa Maulana
Malik Ibrahim sebelum ke Nusantara beliau telah terlebih dahulu mengislamkan
Raja Champa, kemudian diikuti oleh seluruh rakyat dikerajaan, bahkan Maulana
Malik sendiri menikah dengan salah satu putri raja Champa, yang masih saudara
dengan ratu Darawati yang merupakan istri raja Prabu Brawijaya. Teori keempat
mengatakan bahwa Islam masuk ke Pulau Jawa berasal dari Cina, hal ini
didasarkan pada Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha yang mengatakan bahwa Raden
Patah merupakan anak dari Putri Cina. Pandangan didasarkan pula cerita rakyat
Jawa Timur. Teori ini sesuai dengan Naskah Melayu dan Hikayat Hasanudin yang
menjelaskan bahwa penyiar agama Islam diwilayah Nusantara adalah orang Cina.
Mengenai pendapat yang ketiga ini, Prof. Dr. Slamet Mulayana mendukungnya,
dalam bukunya dikatakan bahwa Bong Swi Hoo merupakan nama lain dari Sunan
Ngampel[5],
ia adalah menantu dari Gang Eng Cu yang merupakan kapten Cina di tuban,
kapten tersebut diutus untuk melayani kepentingan orang-orang Tionghoa di Jawa,
dapat disimpulkan bahwa kapten tersebut merupakan Arya Teja yang mendapat Gelar
Arya Damar dari Rani Suhita raja Majapahit pengganti Hyang Wisesa
(Wikramawardhana). Sementara putri Gang Eng Cu sendiri yang dinikahkan dengan
Sunan Ngampel bernama Ni Gede Manila. Pendapat ini didasarkan pada perbandingan
Babad Tanah Jawi/Serat Kanda dengan berita yang ada di Klenteng Sam Po Kong di
Semarang. Lebih jauh Slamet Mulyana menyebutkan beberapa nama Wali yang
merupakan keturunan Cina peranakan diantaranya, Dja Tik Su (Ja’far Sadik, Gelar
Sunan Kudus, Bong-ang (Sunan Bonang), dan Gang Si Cang (Raden Said, gelar Sunan
Kalijaga)[6].
Berdasarkan penjelasan uraian diatas
dapat kita simpulkan bahwa asal-usul Islam di Pulau Jawa merupakan para guru
sufi yang dalam perjalanannya ke Nusantara melalui jalur perdagangan sutra atau
jalur Samudra Hindia. Di kawasan Timur-Tengah mereka menempuh perjalanan menuju
Kanton dan dari sinilah mereka menempuh perjalanan menuju Champa yang
selanjutnya ke Nusantara[7].
Semua teori yang ada kita anggap benar, mengingat penyebaran Islam pada saat
itu melalui jalur perdagangan yang pada beberapa wilayah mereka singgah
dibeberapa pelabuhan yang ada di Nusantara.
1.2 Profil Walisongo
- Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim merupakan
sesepuh Walisongo, beliau memilki beberapa nama, antara lain, Maulana Magribi,
Syekh Magribi, Sunan Gresik, atau Syekh Ibrahim Asamarkan di (Sebutan
dalam Babad Tanah Jawi). Dikalangan para wali, Maulana Malik merupakan tokoh
yang dianggap paling senior atau wali pertama. Beberapa versi menyebutkan bahwa
beliau berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat. Belum ada keterangan yang
pasti kapan beliau lahir dan dari mana beliau berasal. Meskipun demikian sumber
sejarah mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim datang ke Nusantara sekitar abad
ke-14. Pendapat lain mnyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Jawa pada tahun
1399 M dari Arab kemudian tinggal di Perlak dan Pasai, pergi ke Gujarat dan
selanjutnya menetap di Gresik[8].
Beliau wafat di Gresik pada hari senin tanggal 12 Rabiul awal tahun 822 H ,
bertetapatan dengan tanggal 8 april 1419 M. keterangan mengenai tanggal dan
tahun wafatnya berdasarkan Inskripsi pada batu nisan makamnya yang berada di
Gresik.
Maulana Malik Ibrahim merupakan wali
pertama yang tertua, beliau mempunyai anak bernama Raden Rahmat (Sunan Ampel )
, Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim dan sepupu Sunan Ampel[9].
Maulana Malik masih merupakan keturunan Ali Zainal Abidin Al-Husein Ibnu Ali
Ibnu Thalib. Hal ini menunjukan bahwa Maulana Malik merupakan keturunan
Rasulallah SAW. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi, bahwa Syekh Ibrahim
Asamarkandi merupakan menantu dari dari raja Champa. Raja Champa tersebut
memilki tiga anak, dua orang putri dan satu orang putra. Putri pertama bernama
ratu Darawati yang menikah dengan Prabu Brawijaya dan putri yang kedua menikah
dengan Syekh Ibrahim Asamarkandi, Syekh itu sendiri merupakan Maulana
Malik Ibrahim. Dari hasil perkawinanya ini, beliau dikaruniai dua orang putra ,
yaitu Raden Rahmat dan Raden Santri. Kisah dalam babad ini sesuai dengan yang
ada dalam Hikayat Hasanudin serta Babad Majapahit dan Para Wali.
Sunan Gresik lahir disekitar wilayah
Magribi, Afrika Utara. Disana beliau dikenal sebagai Wali Pawang Hujan.
Dikisahkan bahwa pada suatu ketika ada seorang gadis yang hendak dijadikan
tumbal untuk meminta hujan kepada dewa. Ketika pedang sudah dihunus, Maulana
Malik datang dan melarangnya dengan pembicaraan yang halus, kemudian beliau
memimpin shalat Istisqa, untuk memohon hujan. Tak lama setelah itu, hujanpun
turun dan kawanan kafir tersebut berbondong-bondong memeluk agama Islam[10].
Maulana malik menetap di Desa Leran, Gresik. ketika itu Gresik masih di bawah
kerajaan Majapahit. Disana beliau melakukan dakwah dengan menjauhi Konfrontasi
dengan masyarakat sekitar. Sehingga dengan mudah agama Islam diterima. Sunan
berdakwah secara sederhana, beliau membuka warung dan menjual rupa-rupa makanan
dengan harga yang murah. Selain sebagai pedagang Sunan membuka praktek sebagai
Tabib ,dengan doa-doanya yang diambil dari Al-Quran. masyarakat
berbondong-bondong datang kepadanya untuk meminta pertolongannya, apalagi
praktek tabib yang dibukanya gratis[11].
Dari sisni beliau memanfaatkannya sebagai sarana dakwah Islamiyah. Semakin hari
pengikutnya semakin bertambah, beliapun semakin dikenal dikalangan masyarakat
Gresik.
Di Gresik beliau membuat
pesantren,yang merupakan sarana tempat menimba ilmu bersama. Dalam mengajarkan
Ilmunya, Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan julukan “Kakek Bantal”, hal ini
karena kebiasaan beliau yang selalu meletakan Al-Qur’an dan Kitab Hadist diatas
bantal ketika mengajarkan ilmunya. Meskipun pengikut beliau semakin banyak,
Maulana Malik Ibrahim masih mempunyai tekad yang kuat untuk mengislamkan raja
Majapahit, atas siasatnya ini beliau meminta bantuan raja di Cermin. Sebagian
berpendapat bahwa Cermin berada di Persia, dan pendapat lain menyebutkan berada
di Gedah, Malaysia. Raja Cermin mengirimkan putrinya Dewi Sari yang berwajah
elok ke kerajaan Majapahit, yang diharapkan sang Prabu Brawijaya mau memperistrinya,
dengan begitu diharapkan Raja Majapahit bisa memeluk agama Islam. Namun
usahanya mengalami kegagalan, karena sang raja hanya mau menerima Dewi Seri
sebagai selirnya. Raja cermin menolaknya, dan membawa kembali pasukan bersama
Dewi Seri ke kerajaan. Sebelum sampai di Cermin pasukanya singgah di Leran
Gresik, mereka menetap di rumah Sunan Gresik sambil menunggu perbaikan
kapalnya. Meskipun demikian, Sunan Gresik tak Patah hati, beliau melanjutkan
dakwah dan misinya hingga menjelang wafatnya pada tahun 1419 M.
- Sunan Ampel ( Raden Rahmat )
Sunan Ampel merupakan sesepuh
Walisongo pengganti ayahnya Maulana Malik Ibrahim, beliau lahir sekitar tahun
1401 M, mengenai tanggal dan bulannya belum ada kepastian sumber sejarah. Nama
kecil beliau adalah Raden Rahmat, beliau adalah putra keturunan raja champa.
Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Adipati Tuban Wilwatikta
Arya Teja. Dari hasil pernikahannya beliau menurunkan dua orang putra dan dua
orang putri. Dua orang putra tersebut adalah Sunan Bonang (Maulana Makdum
Ibrahim) dan Sunan Drajad (Syarifudin), sedangkan dua orang putrinya adalah
Nyai ageng Maloka dan Dewi Sarah (istri Sunan Kalijaga). Raden Rahmat memilki
seorang adik Raden santri namanya, dan seorang kemenakan bernama Raden Berereh[12],
mereka bertiga diperintahkan oleh orang tuanya untuk menghadap Raja Majapahit.
Mereka berangkat ke Majapahit dan tinggal di sana selama satu tahun.
Menurut Babad Gresik, Raden Rahmat
dan Raden Ali Hutama pergi ke gresik , dari kota itu mereka melanjutkannya ke
majapahit untuk bertemu Sang Prabu. Awal kedatangannya ke Gresik agama Islam
Belum tersebar luas, sehingga sang Prabu menetapkan Ali Hutama menjadi
Syah Bandar di Gresik, sedang Raden Rahmat di beri kawasan yang masing berupa
rawa-rawa yang berlumpur bernama Ampel. Sang Prabu sendiri tidak melarang
keduanya untuk menyiarkan agama Islam. Dalam abab Gresik pula disebutkan bahwa
sepeninggal Prabu hayam Wuruk dan patih Gajah Mada kerajaan majapahit
dalam kedaan kacau. Oleh karena it, Prabu Kertawijaya mengundang Raden Rahmat
putra Syekh Ibrahim Asamarkandi untuk mengajarkan agama di Jawa. Tujuannya
untuk membina masyarakat penduduk majapahit. Berbeda dengan Hikayat Hasanudin,
Raden Rahmat sebelum menuju majapahit di Jawa terlebih dahulu singgah di
palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Arya Damar yang pada waktu
itu menjabat sebagai Raja Palembang. dalam misinya ke kerajaan majapahit, Raden
Rahmat di dampingi sang ayah (Maulana Malik Ibrahim), kakaknya (Sayyid Ali
Murthada), dan Sahabatnya (Abu Hurairah)[13].
Rombongan tersebut tersebut singgah di Tuban dan menyebarkan agama Islam disana
sampai sang ayah Syekh Asamarkandi wafat, yang makamnya terletak di Desa
Gesikharjo, Palang, Tuban. Selanjutnya romongan tersebut melanjutkan
perjalanannya ke Trowulan Ibukota Majapahit untuk menghadap Sang Prabu
dalam menyanggupi permintaanya, yaitu memperbaiki dan mendidik moral para
bangsawan yang kawula majapahit yang saat itu mengalami kekacauan. Sebagai
hadiahnya, raden rahmat diberi tanah di Ampeldenta , Surabaya dan tiga ratus
keluarga diserahkan kepadanya untuk di didik dan di bina.[14]
Disana Raden Rahmat mendirikan pemukiman penduduk sebagai ladang untuk
berdakwah.disana Baliau mendirikan Pesantren dan Mesjid yang sampai sekarang
peninggalannya masih ada.
Raden Rahmat sangat memperhatikan
dalam menurunkan kaderisasi wali kepada anak-anak dam murid-muridnya. Dua
putranya yakni Sunan Bonang dan Sunan Drajad merupakan anggota dari Walisongo.
Satu putrinya Asyikah dinikahkan dengan Raden Patah yang menjadi raja Demak,
serta dua orang purinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, kedua putri itu
bernama Dewi Murtasiah yang diperistri oleh Sunan Giri dan dewi Mursimah yang
diperistri oleh Sunan Kalijaga. Suana Ampel selalu berbeda pendapat dengan Para
wali lainnya, beliau agak bersikap puritan dalam mengakulturasikan antara
tradisi adat dengan Islam. Meskipun demikian Sunan Ampel sangat bijak dalam
mengelola pendapat, selain itu karena sosoknya yang dituakan sebagai pengganti
dari Maulana Malik Ibrahim, beliau sangat dihormati dan disegani oleh semua
kalangan. Menurut beberapa versi Sunan Ampel merupakan tokoh yang mengepalai
Dewan Walisongo, hal ini dilakukan sebagai sarana dakwah Islamiyah di tengah
hiruk-pikuk kekacauan Kerajaan majapahit.
Diceritakan bahwa ketika Raden
Rahmat menjadi tokoh yang terkenal di Ampeldenta, beliau kedatangan Syekh
Walilanang. Syekh itu berasal dari Jeddah yang singgah ke Ampeldenta. Disana
sang Syekh berdiskusi dan berbagi ilmu bersama dengan Sunan Ampel. dan dari
Ampeldenta perjalanan syekh dilanjutkan ke Blambangan sampai suatu ketika
beliau dinikahkan dengan putri raja Blambangan. Namun karena sang Raja tidak
mau memeluk agama Islam putrinya beliau tinggalkan, yang pada saat itu sudah
dalam keadaan mengandung. Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa putri yang
sedang mengandung tersebut kelak akan melahirkan seorang putra yang bernama
Sunan Giri yang selanjutnya dipungut anak angkat oleh seorang janda kaya Nyai
Semboja, yang kemudian dipondokkan ke Ampeldenta hingga menjadi wali Sunan
Giri.[15]
Berdasarkan uraian diatas, dapat
kita pahami bahwa Sunan Ampel sangat memperhatikan Kaderisasi, diantara
kader-kader yang melanjutkan perjuangannya adalah Raden Patah(raja Demak
Sekaligus menantu), Sunan Kalijaga (menantu), Raden Paku (Sunan Giri ), Sunan
Bonang (Raden Makdum), Syarifudin (Sunan Drajad), dan Maulana Ishaq
(Blambangan). Belum ada keterangan yang pasti mengenai kapan beliau Wafat.
Namun dalam babad Gresik menyebutkan angka 1481 M yang di tandai dengan
Candrasengkala “ulama ampel lena masjid”[16],
yang menurut cerita masyarakat setempat beliau wafat pada saat sujud di mesjid.
Makamnya terletak disebelah barat Mesjid Ampel, tepatnya di Ampel Gading.
- Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim)
Nama lain Sunan Bonang adalah Raden
Makdum atau Maulana makdum Ibrahim, beliau lahir di Bonang, Tuban pada tahun
1465 M. Sunan Bonang merupakan putra sulung Sunan Ampel hasil pernikahannya
dengan Candrawati alias Nyai Gede Manila. Sejak kecil beliau dididik di
lingkungan keluarganya dengan ketat sehingga menjadi Walisongo. Nama kecilnya
Maulana Makdum yang diambil dari Bahasa Hindi[17].
Ajaran Sunan Bonang terangkum dalam Kitab yang terkenal yaitu “Suluk Wujil’,
mengkisahkan si Wijil yang berguru pada Sunan Bonang. Wujil merupakan bekas
budak Raja Majapahit.
Menginjak usia dewasa, Sunan Bonang
diutus Sunan Ampel menuju Pasai atau Aceh. Disana beliau berguru pada Syekh
Awwalul Islam yang merupakan Ayah Kandung Sunan Giri (Raden Paku). Bersama
Sunan Giri beliau menuntut ilmu disana. Pulang dari pasai Sunan Bonang diminta
berdakwah ke daerah Tuban, Pati, Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau jawa.
Di Tuban beliau mendirikan Pondok Pesantren. Sementara itu, Sunan Giri
berdakawah di daerah Gresik dan mendirikan Pondok Pesantren disana.
Dalam melaksanakan dakwahnya, Sunan
Bonang menggunakan alat kesenian daerah berupa gamelan Bonang yang di
pukul dengan kayu. Sunan bonang sendiri yang menabuhnya dan karena suara gaung
bonang yang sangat menyentuh hati rakyat sekitar sehingga banyak rakyat yang
berbondong-bondong datang ke mesjid. Selain bertembang Sunan Bonang selalu
memberikan penjelasan maksud dari tembangnya tersebut. Tembangnya berisi
ajaran-ajaran agama Islam. Dikalangan masyarakat Sunan Bonang dikenal dengan
Sang Mahamuni.
Pada masa hidupnya, Sunan bonang
banyak berperan dalam perjuangan Kerajaan Islam Demak serta berpartisipasi
dalam pembangunan Mesjid Agung Demak. Sunan Bonang pun berperan dalam
pengangkatan Raden Patah sebagai raja Islam Demak. Ketika mengajarkan ilmu agam
Islam Sunan Bonang menggunakan buku-buku karangan para ahli Tasawuf yaitu Ihya
‘Ulumuddin, Al-anthaki, dan beberapa tulisan karya Abu Yazid Al-Bustami dan
Syaikh Abdul Qadir Al-jailani.[18]
Kedudukan Tasawuf menurut Sunan
Bonang paling penting karena dapat menunjukan setiap muslim terhadap mencintai
Allah dan Rasulnya secara hakiki. Menurutnya manusia harus menjauhi tiga musuh
utama, yaitu dunia, hawa nafsu, dan setan. Menurut sbeberapa pendapat
sejarawan, naskah ajaran sunan bonang merupakan paling lengkap diantara naskah
para wali lainnya. Didalam Naskah tersebut di katakan bahwa ajaran Sunan Bonang
berasal dari Syaikh Jumadil Kubro yang merupakan ayahanda Maulana Malik
Ibrahim. Ajaranya diturunkan kepada Sunan Ampel selanjutnya kepada Sunan
Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Sunan Bonang wafat di Pulau
Bawean pada tahun 1525 M, dikisahkan bahwa ketika jenazah hendak
dikuburkan terjadi perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga
Bawean ingin beliau dikuburkan di daerahnya karena beliau berdakwah di pulau
tersebut, tetapi warga Bonang tidak mau terima, sehingga pada malam harinya
diam-diam mereka mencuri jenazah Sunan Bonang. Namun aneh, keesokan harinya
ketika jenazah Sunan Bonang hendak di kebumikan. Jenazahnya tetap ada baik di
Bonang maupun di Bawean. Oleh karena itulah , hingga sekarang makam Sunan
Bonang terdapat didua tempat. Satu di Pulau Bawean dan yang satunya lagi di
Bonang, Tuban.
- Sunan Drajad ( Raden Qasim)
Nama lain dari Sunan Drajad adalah
Raden Qosim tau Syarifudin beliau hidup pada zaman Majapahit akhir
sekitar tahun 1478 M. Belum ada keterangan sejarah yang pasti mengenai kapan
dan dimana Sunan drajad dilahirkan. Namun berdasarkan beberapa babad dan
referensi sejarah Sunan Drajad merupakan putra dari Sunan Ampel hasil
pernikahannya dengan Candrawati alias Ni Gede Manila. Dikisahkan bahwa sejak
berusia muda Sunan Drajad telah diperintahkan ayahnya untuk menyebarkan agama
Islam di pesisir Gresik. semasa muda beliau dikenal dengan raden Qasim.
Sebenarnya masih banyak lagi nama-nama lain dari beliau berdasarkan beberapa
Naskah kuno. Diantaranya beliau dikenal dengan nama Sunan Mahmud, Sunan Mayang
Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifudin, Pangeran Kadrajat dan Masaikh Munar[19].
Raden Qosim menghabiskan masa
anak-anak dan remajanya di Ampeldenta. Beliau didik secara ketat hingga
akhirnya menjadi Wali. Setelah dewasa beliau diminta untuk menyebarkan agama
Islam di pesisir Gresik. Perjalananya ke Gresik menjadi sebuah legenda.
Dikisahkan bahwa ketika beliau hendak menuju Gresik, kapal yang di tumpanginya
terkena ombak, Raden Qosim selamat dengan berpegang pada Dayung perahu
tersebut. Setelah kejadian itu, datang dua ekor ikan menolongnya, kedua ikan
tersebut adalah ikan Cucut dan Ikan Talang. dengan pertolongan kedua ikan
tersebut Raden Qosim terdampar di sebuah tempat bernama Kampung Jelak,
banjarwati. Disana beliau bertemu dengan Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Kedua Mbah tersebut telah memeluk agama Islam. Raden Qosim kemudian menetap di
Jelak dan menikah dengan Kemuning yang merupakan putri dari Mbah Mayang Madu.
Di jelak Raden Qosim mendirikan pondok pesantren sebagai tempat belajar
ilmu agama ratusan penduduk. Jelak dulunya merupakan dusun kecil yang
terpencil, lambat laun berkembang menjadi Kampung yang besar. Tempat itu
kemudian diberi nama Desa Drajat karena letak geografisnya yang berupa dataran
tinggi.
Sunan Drajad menikahi tiga
perempuan, selain menikah dengan kemuning, Sunan Drajad menikahi Retnayu Candra
Sekar, yang merupakan putri Adipati Kediri yaitu Raden Suryadilaga. Sementara
itu, menurut babad Cirebon, istri Raden Qosim yang pertama adalah Dewi Sufiyah,
Putri Sunan Gunung Jati. Menurut sejarah Raden Qosim sebelum sampai di
L:amongan, terlebih dahulu dikirim oleh ayahnya untuk berguru dan mengaji
kepada Sunan Gunung Jati. padahal, Sunan Gunung Jati sendiri merupakan murid
dari Sunan Ampel[20].
Raden Qosim dikenal dengan wali yang dapat menaklukan makhluk halus. Ketika
pusat dakwahnya pindah ke perbukitan selatan Lamongan, baliau banyak menemui
masalah, penduduknya banyak yang kesurupan dan terkena penyakit akibat
pembukaan lahan baru tersebut. lahan itu merupakan daerah yang angker. Namun,
berkat kesaktiannya. beliau dapat mengatasinya hingga wilayah tersebut menjadi
wilayah yang ramai di kunjungi penduduk. Atas saran dari Sunan Giri, wilayah
tersebut ditempati Sunan Drajat sebagai tampat berdakwah. Disana beliau
mendirikan mesjid dan tempat itu kini bernama Ndalem Duwur.
Sunan drajad wafat pada tahun
1522 M, di tempatnya yang dulu terdapat museum yang berisi barang-barang
peninggalan Sunan Drajad. sisa hidupnya beliau habiskan di Ndalem Duwur hinnga
menjelang wafatnya. Sunan Drajad terkenal dengan kedermawanannya, hal ini
karena beliau sangat dekat dengan kaum jelata. Petuahnya yang terkenal adalah “Bapang
den simpangi, ana catur mungkur”, yang mengandung maksud ‘ jangan
mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekan orang lain, apalagi melakukan
perbuatan itu. Dalam berdakwah beliau memperkenalkan Konsep “Bil-Hikmah”
yaitu dengan cara-cara yang bijak dan tanpa memaksa. dalam berdakwah beliau
melaksanakan lima cara yang dianggapnya paling efektif yaitu : pertama
lewat pengajian secara langsung di mesjid dan di langgar-langgar, kedua melalui
pendidikan di pesantren, keempat melalui kesenian tradisional, tembangnya yang
terkenal adalah tembang pangkur dengan diiringi gamelan, dan terakhir melalui
ritual adat tradisional selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam
(Akulturasi Budaya)[21].
- Sunan Giri (Raden Paku)
Nama lain Sunan Giri adalah Raden
Paku atau Maulana Ainul Yaqin. Sunan Giri hidup sekitar tahun 1356 – 1428 M,
ayahnya bernama Maulana Ishaq yang berasal dari Pasai serta ibunya bernama
Sekardadu , Putri Raja Blambangan. Nama kecil sunan giri adalah Jaka Samudra masa
kecilnya diasuh oleh seorang janda kaya bernama Nyai Gede Pinatih, sebagian
sumber menyebutnya Nyai Samboja. Ketika dewasa beliau berguru kepada Sunan
Ampel, dan oleh Sunan Ampel beliau diberi gelar Raden Paku. Sunan Giri
mengikuti jejak ayahnya Syekh Awwalul Islam atau Maulana Ishaq menjadi seorang
mubalig, beliau bersama Sunan Bonang diperintahkan Sunan Ampel pergi ke Mekkah
untuk menuntut ilmu tetapi mereka singgah terlebih dahulu kepada Maulana Ishaq
untuk berguru padanya di Pasai. ketika kembali Sunan Giri melanjutkan dakwahnya
di Gresik sementara Sunan Bonang berdakwah disekitar pesisir utara Jawa Timur.
Berdasarkan beberapa sumber, Maulna Ishaq merupakan seorang ulama yang berasal
dari Gujarat yang masih saudara dengan Maulana Malik Ibrahim, ayah Sunan Ampel.
keduanya merupakan Putra dari Syekh Jumadil Qubra, dari sini kita simpulkan
bahwa Sunan Giri merupakan sepupu sekaligus murid Sunan Ampel.
Raden paku mendirikan Pesantren
Giri, di perbukitan Desa Sidomukti, Kebomas. pesantren ini didirikan atas tekadnya
yang kuat untuk berdakwah. Sejak saat itu Sunan Giri dikenal . dan dalam Bahasa
Sanskerta “Giri” berarti Gunung. Pesantren Giri terkenal hingga keluar jawa dan
seluruh Nusantara. Bahkan menurut babad tanah jawi murid-murid Sunan Giri
meluas sampai ke Cina, Mesir, arab, dan Eropa. Pesantren tersebut merupakan
pusat ajaran tauhid dan fiqih[22].
Ketika Sunan ampel wafat , ketua
para wali selanjutnya berpindah kepada Sunan Giri. Sunan Giri diangkat menjadi
Ketua atas usul dari Sunan Kalijaga, Beliau di beri gelar Prabu Satmata.
Dikalangan para wali, sunan Giri terkenal dengan ahli ilmu politik dan Tata
Negara. Beliau pernah menyusun sebuah Undang-undang ketataprajaan dan pedomatan
tata cara di keraton. Menurut De graaf , lahirnya kerajaan Islam Demak,
Kerajaan, Pajang, dan Mataram tidak lepas dari campur tangan Sunan Giri.
Pengaruhnya meluas keseluruh Nusantara. Menurut naskah sejarah “Through
Account Of Ambon”. Kedudukan Sunan Giri diibaratkan Paus pada Umat Katholik
Roma, sedangkan menurut kaum muslimin diibaratkan Khalifah.
Pada saat kerajaan Majapahit Runtuh
tahun 1478 M, di Jawa, kerajaan Islam Demak tampil sebagai penggantinya. Saat
itu, Sunan Giri dipercaya untuk meletakan dasar-dasar kerajaan masa perintisan.
dan selama 40 hari Sunan Giri memangku Jabaatn tersebut , yang selanjutnya
jabatan diserahkan kepada Raden Patah. Sunan Giri sendiri sudah lama menjadi
raja Giri Kedaton sejak tahun 1470 M. di Gresik Kewalian Giri Kedaton sangat di
hormati dan di segani sampai kepada keturunannya. Urusan politik diwilayah
tersebut diserahkan kepada Keawalian Giri Kedaton. Keawalian ini jatuh kepada
Panembahan Senapati Mataram , tepatnya pada masa Sunan Giri III. Sunan Giri
Wafat pada tahun 1506 M, dalam usia 63 tahun. Makamnya terdapat di Desa Giri,
Kebomas, Kab. Gresik.
- Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
Sunan Kalijaga adalah salah satu
wali yang terkenal dikalangan masyarakat jawa. Beliau ulama yang sakti dan
cerdas, nama kecilnya Raden Sahid, merupakan putra dari Tumenggung Wilwatikta,
Adipati Tuban yang sudah menganut agam Islam, namanya berubah menjadi Raden
Sahur. beliau menikah dengan Dewi Nawangrum, dan hasil pernikahannya lahirlah
Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada 1430-an. Kisah masa muda
Sunan kalijaga sungguh sangat krusial, dia adalah seorang buronan dan perampok.
Terdapat dua versi mengenai cerita masa muda beliau. Versi pertama mengatakan
bahwa Sunan Kalijaga merupakan pencuri dan perampok harta milik kerajaan dan
orang-orang kaya yang pelit. hasil dari rampokannya itu, ia bagikan kepada
rakyat jelata yang miskin dan terlantar. Versi kedua mengatakan bahwa Raden
Sahid merupakan seorang perampok dan pembunuh yang jahat. Mengenai Jalan
hidupnya banyak terangkum dalam Naskah-naskah kuno jawa.
Menurut sejarah Raden Sahid diusir
oleh keluarganya dari kerajaan karena katahuan merampok, setelah itu dia
berkeliaran dan berkelana tanpa tjuan yang jelas, hingga kemudian menetap di
hutan Jatiwangi sebagai seorang yang berandal dan suka merampok. Dalam babad
demak disebutkan bahwa Raden Sahid bertemu dengan Sunan Bonang. Karena
kagummelihat kesaktian Sunan Bonang, Raden Sahid bergurunya kepadanya dengan
syarat beliau harus bertobat dengan dikubur hiduphiduo selama Seratus hari di
hutan. Raden Sahidpun mentanggupunya dan melaksanakan perintah Sunan Bonang
tersebut. Sepulang dari Mekkah Sunan Bonang menengok Raden Sahid yang telah
seratus hari dikubur hidup-hidup Disana Sunan Bonang membuat Raden Sahid siuman
dan menjadikannya sebagai murid dan saudara yang paling beliau sayangi. kini
Raden Sahid yang dulu berandal berubah menjadi seorang wali dan ulama yang
cerdas dan budayawan. Beliau dinikahkan dengan adik Sunan Bonang kemudian
diberi gelar Syeh Melaya[23].
Berdasarkan babad tanah jawi , Sunan
Kalijaga hidup pada empat dekade pemerintahan, yaitu pada masa Majapahit
(sebelum tahun 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang
(1546-1568) serta awal pemerintahan Mataram Islam (1580-an). Jika demikian
halnya berarti beliau hidup selama sekitar 150-an[24].
Jalur dakwah beliau meliputi jawa tengah hingga Cirebon, jawa barat. Di Cirebon
beliau bertemu dengan Sunan Gunungjati dan dinikahkan dengan adiknya Siti
Zaenab. Cara dakwah Sunan Kalijaga berbeda dengan para wali lainnya. Beliau
berani memadukan dakwahnya dengan seni budaya yang telah menjadi kebiasaan adat
masyarakat jawa. Seperti berdakwah dengan wayang, gamelan, tembang, ukir dan
batik.
Sunan Kalijaga banyak berperan dalam
mendirikan Mesjid Agung Demak selain senagai seorang pendakwah, Sunan Kalijaga
terkenal dengan Budayawan. Ajarannya yang terkenal disebut dengan “Narima ing
pandum”, yang di uraikan dengan Sikap rela, narima, temen, sabar, dan budi
luhur[25].
Cara dakwah Sunan Kalijaga mengandung perdebatan dikalang para wali, karena
Sunan Kalijaga mengakulturasikan adat dengan Syariat Islam sehingga menimbulkan
sedikit perbedaan pendapat. Meskipun demikian semua wali tetap bersatu.
Semuanya menyadari akan kondisi masyarakat saat itu. Diantara para wali
yang satu aliran dengan Sunan Kalijaga dalam berdakwah adalah Sunan Bonang,
Sunan Muria, dan Sunan Kudus. Sedangkan cara berdakwah yang sedikit puritan
adalah Sunan Ampel dan Sunan Drajad.
Sunan Kalijaga mengahabiskan sisa
hidupnya di Kadilangu Demak, disana beliau hidup bersama istrinya Dewi Sarah
yang merupakan putri dari Maulana Ishaq, dakwahnya terus berlanjut dari pesisir
utara Demak hinnga daerah pedalaman. Dan dari pernikahannya dengan Dewi Sarah,
dikaruniai tiga orang anak, salah satunya yang menjadi anggota wali songo
adalah Sunan Muria. Dua orang putrinya bernama Dewi Rukayyah dan Dewi Sofiah.
Belum ada keterangan sejarah yang rinci mengenai kapan Sunan Kalijaga wafat.
makamnya sekarang terdapat di Kadilangu Demak.
- Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus lahir sekitar abad 15 M
bertaepatan dengan abad 9 Hijriyah, ayahnya bernama Raden Usman Haji yang
bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, Blora. Sunan Kudus masih merupakan
keturunan dari Sayyidina Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Kakek Sunan Kudus
adalah saudara Sunan Ampel. Ayahnya menikah dengan Nyai Syarifah, yang
merupakan cucu dari Sunan Ampel. Dari hasil perkawinannya lahirlah Ja’far
Shadiq. Berdasarkan hal tersebut kita simpulkan bahwa Sunan Kudus masih
mempunyai hubungan pertalian darah dengan Sunan Ampel. Meskipun bergelar kudus,
sunan kudus bukahlah berasal dari Kudus, beliau datang dari demak dan bertugas
mnyebarkan Agama Islam di sana. Sunan kudus juga memiliki nama lain yaitu
Ja’far Shidiq atau Dja Tik Su ( Nama Cinanya)[26].
Sunan Kudus berdakwah di daerah
Kudus, pada waktu pertama kali menginjakann kakinya wilayah tersebut bernama
Tajug, dan menurut cerita setempat sebelum kedatangan sunan kudus, kota Tajug
mula-mula di kembangkan oleh Kyai Telising yang Bergama islam. hal ini berarti
sebelum kedatangan Sunan Kudus agama Islam sudah berkembang tetapi belum
meluas. Di kudus, ja’far shadiq memiliki jamaah yang konon jama’ah tersebut
merupakan para santri dan tentara Demak yang beliau bawa ketika hendak
berperang melawan kerajaan Majapahit. Di kudus Ja’far Shadiq menggarap lahan
pertanian sebagai penghasilan utamanya.
Sunan kudus meruapakan sosok wali
yang dihormati dan disegani oleh kawannya, beliau terkenal dengan wali yang
paling pemberani. Selain itu, disamping beliau memegang kekuasaan, juga
memegang Senapati dari kerajaan Islam Demak, jabatan itu sesuai dengan
kepribadaian Beliau yang disiplin, kuat serta gagah berani. Beliau merupakan
Senapati yang banyak berkorban dalam mempertahankan Kerajaan Islam Demak. Di
Kudus beliau mendirikan mesjid yang bernama Menara Kudus. dan nama Sunan Kudus
tertera dalam Inskripsi mesjid tersebut. Mesjid itu didirikan pada tahun 956 H
bertepatan pada tahun 1549 M, mesjid tersebut dijadikan sebagai pusat
dakwah Sunan Kudus. Dalam mengajarkan agama Islam Sunan Kudus mengikuti jejak
Sunan Kalijaga, yaitu menggunakan tut wuri handayani yang berarti Sunan
Kudus tidak menggunakan cara-cara yang bersifat keras, melainkan mengarahkan
masyarakat sedikit demi sedikit . karena kondisi pada saat itu sebagian besar
masyarakat kudus beragama Hindhu- Budha. Cara beliau berdakwah yaitu dengan
memasukan syariat dan ajaran Islam kedalam adat kebiasaan masyarakat. Cara
simpatik beliau dalam mnyebarkan Islam membuat para penganut agama lain
bersedia mendengarkan ceramah agama islam darinya. Kebiasaan unik lainnya yang
biasa Sunan Kudus laksanakan dalam berdakwah yaitu acara bedug dandang, yang
berupa kegiatan menunggu datangnya bulan suci Ramadhan. kegiatan ini
dilaksanakan di mesjid dengan mengundang para jamaah mesjid. Sunan Kudus
terkenal juga dengan seribu satu kesaktiannya[27].
Banyak cerita dan legenda dari masyarakat sekitar yang mengambarkan tentang
kesaktian beliau.
Didalam babad tanah jawi serta
beberapa babad yang lainnya menyebutkan bahwa nama kecil Sunan Kudus adalah
Raden Ngudung, beliau pernah memimpin tentara Demak untuk melawan kerajaan
Majapahit. Disebut pula dalam sejarah bahwa Sunan Kuduslah yang membunuh Syekh
Siti Jenar, beliau dibunuh karena mengajarkan ilmu yang di pandang sangat
berbahaya bagi pemeluk Islam pemula. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M atau
960 H, dan makamnya terletak di Kudus.
- Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria merupakan putra dari
Sunan Kalijaga, hasil perikahannya dengan Dewi Sarah yang merupakan putra
Maulana Ishaq. Nama kecil beliau adalah Raden Umar Said, Raden Said, atau Raden
Prawata. Istrinya bernama Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan Kudus. Putranya
bernama Pangeran Santri. Jalur dakwah beliau meliputi lingkungan Gunung Muria,
oleh karena itu beliau dikenal dengan Sunan Muria. Daerah dakwah Lainnya
meliputi pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara Jawa. Belum ada
tanggal yang pasti kapan beliau dilahirkan. Keterangan sejarah yang ada hanya
berbentuk dongeng dan cerita rakyat yang perlu penelitian. Padepokan Sunan
Muria terletak di Colo, lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter diatas permukaan
laut[28].
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa
Sunan Muria mmerupakan Putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Jika
demikian benar adanya, berarti Sunan Kudus dan Sunan Muria masih bersaudara.
Pendapat ini dikemukakan oleh Darmowarsito dalam tulisanya Pustaka Darah
Agung. Pendapat lain menyebutkan bahwa Sunan Muria adalah keturunan
Tionghoa, hal ini berdasarkan ayahnya Sunan Kalijaga seorang kapitan yang
bernama Gan Sie Cang[29].
Hal ini didasarkan pada naskah kuno yang ada di Klenteng Sam Po Kong ,
Semarang.
Cara dakwah Sunan Muria terkenal
dengan dakwahnya yang Moderat, mengikuti jejak ayahnya Sunan Kalijaga. Beliau
mengakulturasikan adat dan budaya setempat dengan Syariat Islam. Sunan Muria
juga terkenal dengan dakwahnya yang disebut Tapa Ngeli, yaitu berdakwah
dengan menghanyutkan diri dalam masyarakat. Pengaruh ajarannya hingga sekarang
sangat besar. Belum ada keterangan yang pasti mengenai kapan beliau wafat.
Meskipun demikian , komplek pemakaman Sunan Muria hingga sekarang tetap di Desa
Colo, kaki Gunung Muria.
- Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati merupakan seorang
wali yang berasal dari Pasai. Beberapa sumber mengatakan bahwa nama lain Sunan
Gunung jati adalah Faletehan atau Fatahilah. Sementara pendapat lain mngatakan
bahwa Sunan Gunung Jati berasal dari Persia dan Arab. Sampai sekarang belum ada
catatan sejarah yang pasti mengenai kelahiran beliau. Dan berdasarkan beberapa
babad dan sumber sejarah beliau mempunyai banyak nama, diantaranya : Muhammad,
Nuruddin, Syekh nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiyyah, Syekh Madzkurullah, Syarif
Hidayatullah, Makdum jati[30].
Sejak kecil Sunan Gunung Jati
belajar ilmu agama dari orang tuanya di Pasai. Ketika menginjak usia dewasa ,
wilayah Pasai diduduki oleh bangsa Portugis yang datang dari malaka yang pada
saat itu telah jatuh ke tangan portugis. Akibat pendudukan Portugis di Pasai.
Banyak penduduk memberontak dan melakukan peperangan. Faletehan mengungsi ke
tanah suci mekkah dan di sana beliau memperdalam ilmu agama Islam. Disana
beliau tinggal kurang lebih 3 tahun. Faletehan datang kembali ke tanah airnya
dan pergi ke Pulau Jawa. Kedatangannya di sambut baik oleh Kerajaan Islam Demak
yang saat itu mencapai puncaknya berada di bawah pemerintahan Raden Trenggono
(1521-1546). Ketika datang ke pulau Jawa, beliau berdakwah di daerah jawa
bagian barat. Berkat dakwahnya , banyak rakyat jawa barat yang memeluk agama
Islam. Raden Trenggono pun menaruh simpati kepadanya sehinnga Falaetehan
dinikahkan dengan adik Raden Trenggono. Dakwahnya terus berlanjut, Raden
Trenggono memerintahkan Faletehan untuk memimpin ekspedisi ke Banten dan Sunda
Kelapa yang masyarakatnya masih beragama Hindu-Budha dan berada di bawah
kekuasaan Pajajaran. Faletehan berangkat bersama pasukannya dari Demak dan
berhasil menjatuhkan Pajajaran serta mengislamkan wilayah tersebut. Setahun
kemudian, Cirebon jatuh di bawah kekuasaannya dan berhasil mengislamkan
penduduk di wilayah tersebut (1528). Dalam kurun waktu yang tidak lama
Faletehan berhasil menaklukan Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Sehingga
beliau telah berhasil merintis hubungan antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon
dengan Demak, Jepara, Kudus, Tuban, dan Gresik.[31]
Meskipun Jawa Barat dan sekitarnya berada pada kekuasaan beliau , namun
kekuasaan tertinggi tetap berada di bawah kerajaan Islam Demak. Setelah Raden
Trenggono wafat, terjadi perselisihan antara Hadiwijaya dengan Adipati Jipang
Arya Penangsang, kerajaan Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa memisahkan diri dari
kerajaan Demak. Setelah itu, beliau tidak lagi menetap di Demak, tetapi
mengembangkan dakwahnya di Cirebon sampai menjelang wafatnya pada tahun 1570 M
dan makamnya terletak di Gunung Jati , Cirebon.
BAB III
Hubungan Walisongo dengan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa serta Peninggalannya
Walisanga merupakan pihak yang
berpengaruh terbentuknya kerajaan Islam Demak, Pajang, dan Mataram. Yang
dimulai dari Prabu Brawijaya, Raja Majapahit menikah dengan Ratu Dwarawati yang
merupakan bibi dari Sunan Ampel. Secara tidak langsung Sunan Ampel sudah
memiliki hubungan dengan kerajaan Majapahit karena bibinya menjadi Ratu
Majapahit. Sunan Ampel sendiri menikah dengan Candrawati atau Nyai Ageng
Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban. Dari pernikahan itu Sunan
Ampel mendapatkan empat orang putra:
a.
Putri Nyai Ageng Maloka (Isteri Raden Fatah)
b.
Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang)
c.
Siti Muntosiyah atau Dewi Murthasiah (Isteri Sunan Giri)
d.
Syarifuddin (Sunan Drajat)
3.1 Hubungan Walisongo dengan
kerajaan Islam Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan
Islam pertama yang berdiri sekitar abad ke-15 sampai ke-16 M. Raja yang pertama
bernama Raden Patah yang merupakan menantu dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel.
Hubungan kerajaan Demak dengan Wali Songo sangat erat, dapat dikatakan para
wali merupakan penasihat raja. Selain itu, ketika kerajaan demak pertama kali
didirikan, Raden Patah banyak mendapat bantuan dari para wali songo untuk
mengseser kerajaan Majapahit, yang pada saat itu Raja Majapahit Prabu Brawijaya
merupakan ayah Raden Patah sendiri.
Diceritakan dalam Babad Demak[32]
Bahwa Adipati Natapraja atau Raden Patah bermaksud mengunjungi Raja Majapahit
Prabu Brawijaya untuk mengajak secara halus agar memeluk agama Islam serta mau
melaksnakan Syariat Islam . Namun, setibanya disana Prabu Brawijaya menegaskan
bahwa dirinya tidak akan berganti agama. Meskipun demikian, Raden Patah tidak
dilarang oleh Sang Prabu untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Islam terhadap
penduduk pribumi. Sekembalinya dari Majapahit, Raden Patah merasa kecewa dan
malu karena ketidakberhasilannya mengislamkan Prabu Bwawijaya. Ia merasa malu
karena ayahnya adalah seorang kafir sehingga ia lebih suka tidak diakui anak
oleh sang prabu. Bahkan timbul dalam hatinya untuk merebut Majapahit. Semua
maksud hatinya ia sampaikan kepada Sunan Ampel. namun, Sunan ampel melarangnya
karena belum saatnya. Beliau mengatakan bahwa setahun lagi kekuasaan prabu Raja
Majapahit itu akan berakhir. Selain itu Raden patah disarankan oleh Sunan
Ampel agar memohon kepada Allah supaya diberi pusaka sebagai syarat untuk
menjadi raja. dia disarankan untuk bertemu dengan Sunan Kalijaga dan meminta
pusaka kepadanya serta memohon restu dari para wali yang lain. keesokan harinya
atas saran dari Sunan Ampel tersebut, Ia bersama tiga orang rekannya tidak
kembali ke Bintara, tetapi memohon restu kepada para wali agar usahanya dalam
menaklukan raja Majapahit berhasil. Para wali pun mendukung usaha raden patah
tersebut.
Dikisahkan dalam babad Demak [33]
suatu ketika Raja Brawijaya menyuruh dua orang utusannya ke Bintara untuk
memanggil Adipati Natapraja (Raden Patah) agar menghadap kepadanya. Namun,
Adipati Natapraja enggan menghadap Sang Prabu, apalagi sang Prabu masih belum
mau memeluk agama Islam. Ia hanya mau menghadap setelah sang Prabu masuk Islam.
ucapannya ini disaksikan oleh dua orang utusan dari majapahit tersebut.
Kemudian mereka berdua melaporkannya kepada sang Prabu. Mengetahui demikian,
sang Prabu terkejut. Ia memerintahkan Adipati Terung Pecattanda beserta
pasukannya agar menemui Raden Patah di Bintara. Sementara keadaan di Demak,
atas usul Patih Wanasalam, Adipati Natapraja disuruh bersiap-siap untuk
berperang melawan tentara Majapahit. Mereka berjaga-jaga jikalau nantinya
pasukan Majapahit datang bersama balatentaranya. Adipati Natapraja ( Raden
Patah ) memohon dukungan dan izin kepada para Wali untuk melaksanakan niatnya
dalam menaklukan Majapahit. Demikian juga ia meminta restu dari Sunan Ampel,
dengan senang hati Sunan Ampel mengizinkannya karena memang sudah saatnya.
Selain itu Raden Patah meminta restu juga pada Sunan Giri dan Sunan Bonang,
mereka pun menyetujuinya.
Sementara itu, pasukan Adipati
Pecattanda dan pasukannya telah tiba di Demak. Kehadiran para tentara Majapahit
itu diketahui oleh dua orang prajurit Bintara, dengan segera mereka
melaporkannya kepada Raden Patah. Mendengar laporan kedua prajurit tersebut,
Raden Patah mengalami kebingungan. Karena yang memimpin pasukan perang
majapahit adalah adiknya sendiri, saudara seibu[34].
Selanjutnya Raden Patah menuju Mesjid Demak dan meminta pendapat para wali .
Raden Patah melaporkan perihal kedatangan prajuruit Majapahit yang akan
menyerang Bintara. Sunan Ampel melarangnya untuk berperang karena yang memimpin
pasukan adalah adik Raden Patah sendiri. Kemudian atas usul Sunan Giri,
peperangan harus tetap dilaksanakan dan yang akan memimpin pasukan harus bukan
Raden Patah, Sunan Giri memerintahkan Sunan Ngudung sebagai Senapati[35]
agar memimpin peperangan. dan dengan senang hati dia menyetujuinya asalkan
diberi pinjam jubah Antrakusuma milik Sunan Kalijaga. Peperangan pun terjadi
dan kedua prajurit bertemu, namun karena kekuatan yang tidak seimbang pasukan
Bintara Demak mengalami kekalahan, Sunan Ngudung sendiri tewas dalam peperangan
tersebut.
Mendengar kekalahan yang dialaminya,
Raden patah meminta kembali nasihat para wali. Atas perintah Sunan Giri,
diutuslah si Jaka Ngudung sebagai pengganti senapati. Penobatan senapati
tersebut mendapat restu dari para wali. Jaka Ngudung kemudian diberi gelar Pangeran
Kudus yang nantinya akan memimpin peperangan melawan Adipati Pecattanda. Selain
itu, Sunan Kalijaga dan Sunan Giri atas saran Sunan Ampel diminta untuk
membantu dalam peperangan melawan Majapahit. Dalam peperangan yang kedua,
pasukan Majapahit menyerah, Adipati Pecattannda bingung karena pasukan
Majapahit sudah banyak yang tewas dalam peperangan yang pertama . selain itu
yang diajak perangpun adalah kakaknya sendiri sehingga ia lebih memilih jalan
damai dengan pasukan Demak. Jalan damai ini merupakan atas permintaan Raden
Patah melalui surat yang disampaikan kepadanya. Raden Patah meminta kepada
Adipati Pecattanda agar membantu misinya dalam mengislamkan Raja beserta
penduduk Majapahit. Sementara itu, pasukan Pangeran Kudus yang diperintahkan
Raden Patah gagal membawa Sang Prabu agar mau memeluk Islam. pasukan Demak
hanya berhasil membawa istri Sang Prabu yaitu Darawati yang telah mau
memeluk agama Islam. harta benda dan pusaka kerajaan Majapahit
dipindahkan ke Demak. Raja Prabu Brawijaya sendiri telah menghilang
sebelum tentara Demak tiba. Konon menurut Babad Demak bahwa sebelum kedatangan
prajurit Demak, Prabu Brawijaya telah mengetahuinya, ketika itu dia bersemedi
di tempat pemujaanya. Berkat kesaktiannya, Prabu Brawijaya memindahkan
istananya ke gunung, sebagian istri dan anaknya ikut tinggal disana, kecuali
ratu Darawati yang lebih memilih ikut bersama para tentara Demak. Hilangnya
Prabu Brawijaya beserta puranya ditandai dengan angka tahun saka 1400 ( nir
ilang kartining jagad )[36].
Setelah berhasil menaklukan Majapahit, Raden Patah menyerahkan harta benda
serta pusaka Majapahit kepada Sunan Giri. Sementara itu, oleh Sunan Ampel,
Raden Patah dinobatkan sebagai raja yang bergelar “Sultan Bintara”. Beberapa
sumber menyebutnya bergelar “Sultan Sri Alam Akbar”[37].
sumber lain mengatakan bernama “Senapati Jinbun Ngabdur Rahman Panembahan
Palembang Sayyidin Panata Gama[38].
Raden patah merupakan salah satu
murid Sunan Kudus, oleh karena itu ketika beliau memimpin Demak, Sunan Kuduslah
yang selalu menjadi pendampingnya dalam berbagai permasalahan. Dan atas nasihat
Sunan Kudus, raden Patah di suruh membuat siasat pertahanan, untuk
menghancurkan penjajah bangsa Portugis yang berada di luar jawa serta membuat
benteng pertahanan yang kuat di Indonesia. Dan untuk tujuan tersebut,
diperintahlah Adipati Unus (pangeran sabrang lor), yang merupakan putera Raden
Patah menuju malaka, namun serangan ke wilayah tersebut mengalami kegagaalan
karena jumlah pasukan dan persenjataan yang tidak seimbang[39].
Berdasarkan kisah diatas, dapat kita
pahami bahwa Peranan Strategis Walisongo sangat begitu penting dalam proses
pembentukan Kerajaan, hal ini karena misi para wali adalah mengislamkan
panduduk pribumi dengan terlebih dahulu mengislamkan rajanya melalui pendekatan
secara halus tanpa kekerasan. Dengan cara demikian proses Islamisasi secara
kultural berjalan dengan efektif. Pada masa kekuasaan Demak, Walisanga berperan
sebagai ulama yang menyebarkan agama Islam, pembina masyarakat dalam bidang
sosial dan agama, serta sebagai penasehat para raja Demak. Meskipun kesembilan
walisongo tersebut tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. namun satu sama
lain memiliki keterkaitan erat, bila tidak dalam hubungan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
3.2 Hubungan Walisongo dengan
Kerajaan Pajang
Demak mencapai puncak kejayaan pada
masa kepemimpinan Sultan Trenggana. Sebelum menjadi raja, terjadi perebutan
tahta antara Sultan Trenggana dan Raden Kikin atau yang dikenal dengan nama
Pangeran Sekar Seda ing Lepen, anak dari seorang selir. Kemudian Sunan Prawoto
yang mendukung ayahnya, Sultan Trenggana, memerintahkan Ki Surayata untuk
membunuh Raden Kikin. Dengan tewasnya Raden Kikin, Sultan Trenggana naik tahta
menjadi raja Demak III. Panjang cerita setelah Sultan Trenggana wafat, Sunan
Prawoto sebagai kandidat tunggal menjadi raja Demak ke-IV. Kemudian pada tahun
1549, Arya Penangsang, anak Pangeran Sekar Seda ing Lepen, ingin membalas
kematian ayahnya dengan mengirimkan utusannya, yaitu Rangkud untuk membunuh
Sunan Prawoto. Menurut beberapa sumber rencana pembunuhan Sunan Prawoto oleh
Arya Penangsang didukung oleh Sunan Kudus sebagai kakek sekaligus gurunya dan
sebagai hakim agung Demak, Sunan Prawoto pun wafat diikuti dengan isterinya
yang pada saat pembunuhan berada di belakang Sunan[40].
Sunan Prawoto tewas meninggalkan seorang putra bernama Arya Pangiri yang
kemudian diasuh oleh bibinya, Ratu Kalinyamat. Sepeninggalan Sunan Prawoto,
Arya Penangsang ingin mengambil tahta kerajaan, namun Ratu Kalinyamat segera
memberikan tahta kerajaan kepada Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir yang pada
saat itu menjabat sebagai adipati Pajang. Dengan diserahkannya tahta Demak
kepada Sultan Hadiwijaya, maka runtuhlah kekuasaan Demak dan berdirilah
kerajaan Pajang.
Kerajaan Pajang berdiri sekitar
tahun 1568 – 1618 M[41].
Jaka Tingkir resmi sebagai raja pertama Pajang dan mendapat pengesahan dari
Sunan Giri. Meskipun demikian, Sunan Kudus kurang setuju jika Jaka Tingkir
menjadi raja. Karena dianggapnya kurang mampu dalam menghadapi tentara
Portugis. Selain itu, Sunan Kudus kurang setuju jika ibu kota Kesultanan Demak
pindah ke Pajang karena Pajang dianggapnya sebagai daerah pedalaman yang banyak
menetang terhadap Islam, terutama gerakan Islam yang dipimpin Syekh Siti Jenar.
Ketika terjadi konflik antara Hadiwijaya dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus
tampil sebagai penengah yang berusaha mendamaikann keduanya. hal ini, karena
keduanya merupakan murid Sunan Kudus sendiri. meskipun Sunan Kudus kurang
setuju jika ibu kota Kerajaan Demak pindah ke Pajang.
3.3 Hubungan Walisongo dengan
Kerajaan Mataram
Awal berdirinya Kerajaan Mataram
terjadi ketika Ki Penjawi dan Ki Ageng Pamanahan berhasil membunuh Aria
Penangsang atas perintah Ratu Kalinyamat. sesuai dengan kesepakatan bahwa jika
mereka berhasil membunuh Aria Penangsang maka akan diberikan tanah di Pati dan
di Mataram. Ki Penjawi mendapatkan tanah di Pati dan diangkat menjadi penguasa
di sana, sementara Ki Pamanahan belum mendapat perhatian seperti dilupakan oleh
Raja Pajang. Ia merasa sakit hati karena belum mendapatkan haknya untuk
menerima hadiah berupa bumi Mataram. Ia pergi ke Sekarlampir dan disana bertemu
dengan Sunan Kalijaga gurunya. Ki pamanahan menyampaikan isi hatinya kepada
Sunan Kalijaga, kemudian beliau diajak Sunan Kalijaga untuk menghadap Raja Pajang
dan menyampaikan isi hatinya. Atas saran dan nasihat dari Sunan Kalijaga, Raja
Pajang pun memberikan wilayah tersebut[42].
Daerah Mataram masih merupakan hutan belantara dan kurang subur, mungkin atas
pertimbangan ini dahulu Raja Pajang belum bisa memberikan Mataram kepada Ki
Ageng Pemanahan. Setelah itu, Ki Ageng Pemanahan diperbolehkan Raja Pajang
untuk memilki pasukan sebanyak delapan ratus orang untuk dikerahkan ke Mataram.
meskipun Mataram kurang subur, beliau menerimanya dengan senang hati dan
berjanji tak akan memberontak kepada penguasa utama. Beliau dijadikan Adipati
disana dan namanya berubah menjadi Ki Ageng Mataram. Lama-kelaman yang
banyak memimpin jabatan penting dilingkungan kerajaan Pajang adalah
orang-orang Mataram
Kekuasaan Raja Pajang semakin
menurun setelah Jaka Tingkir sebagai raja pertama wafat pada tahun 1587[43].
Saat itu, kembali terjadi perebutan tahta. Kali ini antara Pangeran Benowo,
anak Sultan Hadiwijaya dengan Aria Pangiri sebagai Bupati Demak, anak Sunan
Prawoto. Untuk mengalahkan Aria Pangiri, Pangeran Benowo meminta bantuan dengan
Sutawijaya, anak Ki Ageng Pamanahan. Perang saudara ini akhirnya dapat diatasi
oleh Sutawijaya. Karena Pangeran Benowo tidak mampu mengatasi pemerintahan ini,
tahta kerajaan diserahkan kepada Sutawijaya. Dengan begitu berakhirlah
kekuasaan Pajang. Kemudian oleh Sutawijaya pemerintahan dipindahkan ke Mataram,
Jawa Tengah bagian selatan dengan pusatnya di kota Gede. Sutawijaya sebagai
Raja Mataram mendapat gelar Panembahan Senopati dengan masa pemerintahan dari
tahun 1586-1601. Keadaan semacam ini sebelumnya telah diramalkan oleh Sunan
Giri pada saat dihadapkan segenap Adipati dari Madura, Lasem, Tuban, Yuwana,
Sedayu dan dari pantai utara Jawa. Sunan Giri meramalkan bahwa kelak pengikut
Dipati Pajang akan menurunkan raja-raja di Jawa[44].
Hal ini pun terbukti, Mataram semakin berkembang sebagai daerah yang banyak
dilalui aktivitas pemerintahan hingga ibu kota pemerintahan Pajang dipindahkan
ke Mataram.
3.4 Peninggalan Walisongo
1. Kesenian
Dalam bidang kesenian, para wali
banyak sekali menciptakan tembang-tembang musik tradisional, gamelan, wayang
dan lain-lain. Semuanya dipergunakan untuk sarana dakwah Islamiyah, karena
dengan cara demikian dianggap paling efektif mengundang banyak orang sehingga
masyarakat tertarik untuk memeluk agama Islam. Para wali banyak
mengakulturasikan budaya dan adat masyarakat sekitar dengan syariat Islam.
Namun diantara wali songo ada yang kurang setuju terhadap cara dakwah yang
demikian. Meskipun berbeda pendapat mereka tidak saling berselisih, karena
setiap wali mempunyai cara masing-masing dalm berdakwah.
Ada bebarapa wali yang terkenal dalam
menciptakan karya seni sebagai media untuk berdakwah, diantaranya Sunan Bonang
merupakan wali yang terkenal dengan dakwahnya lewat alat musik
Bonang, wayang, serta tembang Macapat. Salah satu syairnya yang terkenal
hinnga sekarang adalah syi’iran tombo ati, syair tersebut berarti syair
obat hati yang terdiri dari lima perkara, yaitu membaca Al-Quran dan memahami
maknanya, Qiyamullail, berkumpul dengan orang yang Shaleh, banyak berpuasa, dan
dzikir malam. Sunan Drajad terkenal dengan pencipta tembang Pangkur.
Raden Paku atau Sunan Giri terkenal sebagai pencipta tembang Pocung,
Asmarandana, serta pencipta permainan Jetungan, Jamuran, Gulag ganti dan
Cublak-cublak suweng. Sunan Kudus terkenal dengan tembangnya yang bernama
Maksumambang dan Mijil. Sunan Muria terkenal dengan tembang Sinom dan Kinanti .
dan diantara para wali yang paling banyak menciptakan karya seni adalah Sunan
Kalijaga, beliau merupakan seorang buadayawan yang sangat tersohor di
Masyarakat jawa. Karyanya yang terkenal adalah Gamelan Nagawilaga, Gamelan
Guntur Madu, Gamelan Nyai Sekati, Gamelan Kyai Sekati, Tembang Dhandhanggula,
kain batik motif Garuda, Baju Takwa , serta dalang dalam cerita-cerita Wayang
Beber dan Wayang Kulit.
2. Peninggalan Bidang Fisik
Banyak peninggalan-peninggalan bangunan
dan fisik yang sampai sekarang masih ada. Diantara bangunan yang paling nyata
adalah Mesjid Agung Demak. Mesjid ini dibangun oleh para wali selain sebagai
tempat dakwah juga sebagai pusat pertemuan dan diskusi para wali. Mesjid ini
juga sebagai tempat dewan wali songo yang diketuai oleh Sunan Ampel.
Selain Mesjid Agung Demak, tempat lain sebagai peninggalan wali songo adalah
Mesjid Sunan Ampel dan Pesantren Ampeldenta di Surabaya. Pesantren ini
didirikan oleh Raden Rahmat sebagai tempat belajar ilmu agama. Dari pesantren
ini banyak melahirkan ulama-ulama bahkan beberapa Wali songo berguru dan
nyantri kepada Sunan Ampel, seperti Sunan Bonang , Sunan Drajad, dan Sunan
Giri. Peningglan lain yang terkenal adalah Mesjid Menara Kudus. Berdirinya
masjid Menara Kudus tidak diketahui secara pasti, namun didalam atap tiang
tersebut terdapat tanda Candrasengkala yang bertuliskan “Gapura Rusak
Ewahing Jagad”, gapura = 6, rusak = 0, ewah = 6,
dan jagad=1, yang berarti tahun 1606 tahun saka (1685 M)[45].
masjid ini mirip dengan bentuk Candi Jago yang mengindikasikan bahwa sebelum
masjid ini berdiri, dahulu merupakan bangunan Hindu-Budha yang dialih fungsikan
menjadi Mesjid pada masa Sunan Kudus.
Peninggalan yang lain yang tak kalah
menarik adalah situs Kewalian Giri Kedhaton di Gresik situs ini dulunya
diyakini sebagai Pesantren Sunan Giri yang berjarak satu kilometer dari makam
Sunan Giri. Dalam situs itu terdapat Langgar atau Musola berukuran 5×6 m.
Dahulu Pesantren Giri terkenal luas ke seluruh Nusantara, bahkan dijadikan
sebagai pusat penyebaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Alumni pondok
pesantren ini tersebar baik di Nusantara maupun di luar negeri, termasuk Cina,
Mesir, Arab, bahkan sampai Eropa[46].
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdarasrakan uraian dan penjelasan
diatas, dapat kita simpulkan bahwa Walisongo banyak berperan dalam proses
Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Gerakan dakwah yang kultural
serta sikapnya yang mampu membaur dengan masyarakat dan mengakulturasikan
antara budaya pribumi dengan ajaran dan Syariat Islam membuat kiprah dakwah
mereka berhasil. Metode dakwah Walisongo secara umum bersifat kultural
dipandang sangat cocok dengan kondisi masyarakat saat itu. Sebagian besar
masyarakat pribumi saat itu masih menganut ajaran Hindu-Budha yang juga sebagai
ajaran resmi dianut Kerajaan Majapahit.
Dari aspek politis, banyak sekali
peran Walisongo dalam pembentukan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
khususnya di Pulau Jawa. Diantaranya , pada masa kekuasaan Demak, Walisongo
berperan sebagai ulama yang menyebarkan agama Islam, pembina masyarakat dalam
bidang sosial dan agama, serta sebagai penasehat para raja. Runtuhnya Kerajaan
Majapahit, serta berdirinya Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram, Walisongo
memiliki hubungan yang mendalam dengan keempatnya. Meskipun mereka tidak hidup
pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan
erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Mereka
tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16.
Daerah penyebaran utamanya yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon di
Jawa Barat.
Selain berdakawah, Walisongo banyak
meninggalkan jejak-jejak sejarah, khususnya sejarah perkembangan Islam yang
berupa peninggalan-peninggalan Walisongo. Dan diantara peninggalan-peninggalan
tersebut yang paling nyata adalah Mesjid Agung Demak. Masjid lain yang juga
meruapak peninggalan Walisongo adalah Mesjid Menara Kudus, Mesjid Rahmat,
Mesjid Sunan Ampel. Bangunan fisik lain yang sampai sekarang masi ada adalah
Pondok Pesantren Ampeldenta, Situs Kewalian Giri Kedhaton, dan lain-lain.
Selain peninggalan Fisik, Kesenian merupakan hal yang paling banyak dikenal.
Wali songo menggunakan kesenian sebagai media dakwah Islam. Diantara kesenian
yang merupakan hasil karya para wali adalah Tembang-tembang pupuh, Syair-syair,
Musik Gamelan, Wayang, permainan anak-anak, kesenian batik, pakaian dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar